(About Modern Poetry Edisi 18 Desember 2011)
Selamat
bertemu kembali. Kali ini saya hendak menuliskan beberapa hal mengenai
musuh-musuh yang kerap ada dalam puisi modern. Secara sengaja atau tidak musuh
ini menyertai dalam tiap puisi yang kita buat. Apa yang berkaitan dengan yang
saya tulis ini berhubungan dengan puisi yang kerap terbaca oleh mata, baik di
surat kabar atau melalui internet. Kali ini telah saya rangkum menjadi lebih
sederhana.
1.
Musuh pertama, KEUMUMAN.
Maksud
dari keumuman adalah serba umum. Ini penting karena keumuman membuat puisi tampak
tidak berkesan atau pembaca tidak tersentuh hatinya. Keumuman di sini bisa
dikatakan PASARAN karena semua orang bisa membuatnya. Kira-kira begitu
maksudnya.
Misalnya
saya ambil contoh keumuman pada sajak “Ibu” dan “Guru” dari majalah Horizon,
sebagai berikut :
IbuOh, ibu alangkah mulai hatimuKau lahirkan dan besarkan akuMembelai dan memberiku susuMenuntun anakmu jalani kehidupanHingga tercapai cita-citaku
GuruOh, guruku kau didik akuMengajariku berbagai ilmuBagi bekal hidupkuDari matematika sampai ilmu bumiKau ajari kami hingga mengertiApa yang yang harus kami jalaniDalam hidup ini
Bagaimana
jika pengemis, misalnya:
Wahai pengemis betapa malang nasibmuMeminta sesuap nasi setiap hariTidur beratapkan langit beralaskan bumiTiada yang perduli
Sajak-sajak
di atas harus perlahan untuk kita hindari, bandingkan dengan yang sederhana
saja tetapi tidak terjebak keumuman, seperti di bawah ini:
Di kotaku banyak pengemisYang sehari-harinya pekerjaannya mengemisAku kagum pada mereka yang dianggap begitu rendahBegitu setia pada pekerjaan mereka yang dianggap rendah(Pengemis karya : Gus Mus)
Atau
seperti ini
Ketika aku kecil dan menjadi muridnyaDialah di mataku orang terbesar dan terpintarKetika aku besar dan menjadi pintarKulihat dia begitu kecil dan luguAku menghargainya dulu karenaTak tahu harga guruAtaukah kini aku tak tahuMenghargai guru!(Bisri, 1991).
2.
Musuh kedua adalah PENONJOLAN
PROPAGANDA
Arti
propaganda di atas adalah benar-benar merupakan sebuah propaganda, artinya
provokasi lebih ditonjolkan sehingga puisi nampak seperti reklame partai. Ambil
contoh sebagai berikut:
Ayo pemudaRapatkan barisan membangun negeriJangan biarkan jangan diberiNeokolonialisme mengancam negeriDadamu dadaku bagi pertiwi
Atau
Jangan kau tebang pohonWahai durjana aku memohonBiarkan pohon subur. Ayo kita ganyangSiapa saja yang berani menebang
Cobalah
lihat dua puisi di atas, terlihat jelas isinya lebih menonjolkan propaganda. Walau
kita tahu bahwa puisi memang harus ada unsur propaganda, tetapi penonjolan
ideologi seperti itu hanya akan membuat puisi tampak seperti papan reklame. Inilah
yang dianggap sebagai musuh puisi, JANGAN PERNAH MEMBUAT PUISI SEPERTI DI ATAS.
Sebagai
perbandingan, saya ambil dari puisi Gus Mus, meskipun menurut saya puisi ini
juga masih cenderung kental akan propaganda, tetapi lebih lumayan karena
pemilihan kata dan metafora telah dipadukan di sini. Berikut puisi tersebut:
Di mana-mana, ya tuhanDi sini pun semua serba TuhanDi sini pun tuhan merajalelaMemenuhi desa dan kotaMasjid dan gerejaKuil dan PuraMenggagahi mimbar dan senimanKantor dan sanggarDewan dan pasarMendominasi lalu-lintasOrpol dan OrmasSwasta dan dinas(Gus mus, 1991)
Meskipun
sajak Gus Mus di atas cenderung ‘sok tahu’, namun secara metafora dan pemilihan
kata telah memberikan kesan tanya di hati pembaca, “Kalau dipikir-pikir, benar juga kata Gus Mus.”
3.
Musuh ketiga adalah
KEBASIAN KATA-KATA
Arti
KEBASIAN KATA-KATA adalah kata-kata tersebut sudah sering dipakai. Seumpama
baju, maka baju tersebut sudah sering dikenakan di mana-mana sehingga semua
orang sudah pernah melihat. Alhasil, ketika dikenakan tidak begitu mengesankan
di mata pembaca. Contohnya adalah sebagai berikut :
Wajahmu bagaikan rembulanAku mencintaimu dan menyayangimuDengan sepenuh hati laksana putih kapasEngkaulah belahan jiwa dan satu-satunyaHingga akhir hayatku
Dapat
dilihat semua kata-kata di atas sudah pernah digunakan atau BASI. Banyak sekali
sebenarnya kata-kata yang sering digunakan, bahkan metafora pun banyak juga
yang sudah dipergunakan, misalnya yang paling sering muncul adalah metafora
benda-benda langit, seperti bulan, bintang, matahari, dan sebagainya. Jadi, usahakan
menulis puisi menggunakan kata-kata yang masih perawan, minimal jarang
digunakan.
4.
Musuh keempat adalah PETUAH/NASEHAT
yang sifatnya memberitahu tetapi terlalu umum.
PETUAH
dan nasehat yang sering kita sisipkan dalam puisi modern mempunyai resiko
tinggi, artinya jika kita gagal maka pembaca justru akan ditempatkan sebagai
pendosa, contohnya adalah sebagai berikut:
Wahai durjana lekaslah bertobatTinggalkan semua jalan yang sesatTidakkah kau lihat malaikatKan memasukkanmu ke neraka laknat
Contoh
di atas cenderung menempatkan pembaca sebagai pendosa, Inginnya mengajak
pembaca bertobat, tetapi justru tak mempan karena terlalu menggurui. Contoh
yang cukup mumpuni misalnya pada puisi Nisczhe, sebbagai berikut:
Hidup ini cermin adanyaTemukan diri di dalamnyaIngin kujadikan jalan utamaCarilah dengan segala upaya !
Lihatlah
puisi di atas yang ditulis bukan menempatkan kita untuk takut atau merasa
sebagai pendosa, tetapi membuat kita lebih santun dan merenungi karena bukankah
mengubah diri sifatnya adalah perlahan, maka perenungan sangat perlu dalam hal
ini.
Oke,
sementara itu dulu dari saya. Ketika menulis puisi modern, pelajaran dasar
itulah yang saya pahami dahulu agar ketika puisi kita dibaca khalayak ramai,
mereka akan tersentuh hatinya. Puisi modern dapat menempatkan dirinya sebagai
alat pengubah perangai atau media pengubah jati diri hingga ke depannya puisi
kelak dapat menjadi salah satu alat bantu pengubah peradaban zaman ke arah yang
lebih baik. Terima kasih.
Salam
(ditulis oleh Reza Andta, Koordinator Modern Poetry WR Puisi)
(ditulis oleh Reza Andta, Koordinator Modern Poetry WR Puisi)
0 comments:
Post a Comment