(Modern Poetry Edisi 25 Desember 2011)
Pada
kesempatan kali ini saya akan kembali berbagi pengalaman tentang membuat puisi
modern. Tatkala membuat puisi saya tak pernah kenal definis puisi, tak pernah
kenal teori-teori tentang puisi, tak pernah kenal apa itu sonnet, syair,
pantun, atau prosa, serta tak pernah kenal aturan larik, suku kata, dan
sebagainya.
Tapi
seberapa penting pengetahuan-pengetahuan seperti itu bagi kita? Apakah justru
membingungkan lantaran terlalu rumit? Alhasil, ketika pertama kali menulis
puisi, inilah rumus yang saya gunakan, dan akan saya coba membaginya di sini,
yaitu:
REALITA/KENYATAAN DI
SEKELILING + OLAH RASA = PRODUK (PUISI)
Produk
yang saya maksud berkaitan dengan cara kita menyampaikan, cara kita mengemasnya
sehingga menghasilkan puisi yang enak dibaca, mudah dipahami, dan mampu
menggerakkan hati pembaca.
Untuk
siapa puisi itu kita buat? Dengan segala hormat saja jawab adalah UNTUK KITA
DULU, baru kemudian baru pembaca. Artinya, ketika produk tersebut selesai
terbentuk, seharusnya puisi tersebut bisa kita presentasikan ketika ada pembaca
yang bertanya, tidak membingungkan diri kita sendiri, istilahnya KEKACAUAN YANG
KITA BUAT KARENA ULAH SENDIRI.
Nah,
seringkali ketika kita membaca puisi modern, kita selalu cenderung untuk bertanya,
“Kok saya nggak paham
maksud isi puisi tersebut? Apakah puisi tersebut gagal tersampaikan?” Pertanyaan seperti ini pun tak bisa saya jawab karena kriteria untuk
memahami suatu puisi tergantung pengalaman dan pengetahuan masing-masing
pembaca.
Sekaranga
akan kita bahas satu per satu unsur dari rumus yang telah saya sampikan tadi.
1.
REALITA/KENYATAAN DI
SEKELILING
Kenyataan
di sekeliling biasanya berhubungan dengan apa yang ada di sekeliling kita,
sekali lagi saya akan memberikan contoh yang paling mudah, misalnya
a.
Kesunyian, Kesepian
Kesunyian/kesepian biasanya
kenyataan yang familiar kita rasakan sehingga kesunyian atau kesepian dapat
kita rasakan dan kita olah nantinya
b.
Kala/Waktu
Kala atau waktu dapat kita
masukkan atau dapat kita olah sebagai kenyataan yang ada di sekeliling kita
c.
Simbol/Gambar-Gambar di
Sekeliling Kita
Maksudnya adalah apa yang
terlihat di sekeliling kita, misalnya mentari, pohon, angin, dan sebagainya, tergantung
apa yang tertangkap oleh indera.
Sebenarnya
masih banyak sekali unsur-unsur realita/kenyataaan di sekeliling kita, namun
sekali lagi kita pelajari yang mudah dulu karena dengan kita tahu dasar-dasarnya
maka kita pun kelak mampu mengembangkannya..
2.
OLAH RASA
Maksudnya
adalah ketika kita sudah mendapatkan unsur-unsur tersebut, maka perlu kita oleh
sesuai dengan rasa. Olah rasa ini berkaitan dengan perenungan, proses berpikir,
dan latihan yang berulang-ulang. Ini penting, sebab kadangkala kita kerap
mengabaikan unsur-unsur tersebut yang secara sengaja atai tidak telah kita
rekam dalam kehidupan sehari-hari.
Maka,
semakin kita sering mengasah rasa (sengaja membuat unsur-unsur yang ada di
sekeliling kita untuk memasuki rasa dan memikirkannya dengan rajin), maka RASA
kita MENJADI SENSITIF (artinya apa yang ada di sekeliling kita kelak juga mudah
kita tuangkan dalam bentuk produk berupa puisi).
3.
PRODUK (PUISI)
Produk
(puisi) adalah hasil rumus dari REALITA/KENYATAAN DI SEKELILING + OLAH RASA, untuk lebih jelasnya contohnya
adalah sebagai berikut:
PENANTIANKU
Kala malam menampakkan ketenangan
Aku mulai merasakan kesunyian
Sunyi sepi dan sendiri di sini
Menanti datangnya mentari
Dia yang dulu kunanti
Kini telah pergi
Bersama datangnya mentari
Tapi disini aku tetap menanti
Menanti nafas ini terhenti
Menanti sampai tubuh ini mati
Jiwa dan raga tak sanggup lagi berdiri
Karena disini aku terbalut sepi
(Ichsanda Deviani, horizon 2011)
Pada puisi
berjudul PENANTIAN di atas penulis menggunakan realita/kenyataan seperti
kesepian, ketenangan dan simbol mentari yang sekaligus dijadikan metafora. Unsur-unsur
tersebut kemudian diolah secara rasa berdasarkan pengalaman penulis yang
menantikan sesuatu (entah apa yang dinantikan penulis, mungkin seorang yang
dicintai) sehingga menghasilkan PRODUK berupa puisi tiga bait di atas.
Contoh lain adalah
sebagai berikut
DI TEPI LAUT
Remah dan ombak makin tampak
Dan laut cuma siluet
Biru yang asin
Biru yang asing
Hanya ada tandas karang
Buih putih
Dan sedikit kata cinta
Yang berkecipak di gaung angin
(Lihat bait di atas! Suasana laut dan simbol-simbolnya mampu diolah
penulis dengan cukup apik, dengan menyelipkan perasaan cinta; ombak, karang,
asin, buih, biru oleh penulis dirasakan, kemudian diolah secara pikiran,
sehingga menghasilkan produk berupa bait puisi di atas), bait berikutnya masih
terusan dari puisi di atas adalah sebagai berikut :
Hanya aku sendiri
di lenggang pantai
mungkin
masih ada yang bisa kuingat
tentang kapal sandar
atau kisah kita
(Bait di atas pun sama, berupa penggambaran sekeliling penulis, yaitu
lenggang pantai dan sendiri sebagai simbol kesunyian/kesepian, yang kemudian ia
tautkan dengan perasaan atau angan penulis berupa kenangan (ya, kenangan
tentang kapal sandar atau sebuah kisah). Untuk bisa menggabungkan dua hal
tersebut (SEKELILING dan PERASAAN) tentunya berkaitan dengan proses berpikir
yang kontinu sehingga menghasilkan produk berupa bait puisi di atas). Bait
berikutnya adalah sebagai berikut:
Mestinya aku menelponmu
Dan berkisah tentangnya
Tapi sepi ini memang terasa asyik
Untuk direngkuh sendiri
(Bait di atas berkaitan dengan kesepian yang kemudian diolah dan
dipikirkan sehingga menghasilkan produk puisi berupa bait yang menggambarkan
hati penulis yang sedang ingin menikmati kesendirian. Menariknya, ia tidak
terjebak keumuman ketika menggambarkan kesendirian [sepi ini memang terasa
asyik untuk direngkung sendiri]. Betapa enak dan indah, bukan? Puisi DI TEPI
LAUT di atas yang merupakan produk puisi tersebut sangat enak di baca,
dinikmati, dan dipahami dengan meminimalisasi orang untuk bertanya-tanya, “Maksud
puisi di atas apa ya?” Atau, “Aku kok nggak paham ya puisi di atas?”)
Kembali ke dua
puisi di atas.
Puisi pertama mungkin
secara bahasa masih belum kuat, tetapi secara rumus yang sudah saya
sampaikan telah memenuhi syarat. Maka dengan bertambahnya jam terbang, saya
yakin puisi tersebut mampu berevolusi dengan baik.
Sedang puisi kedua
saya ambil dari majalah Horizon yang ditulis oleh Alex R. Nainggolan. Puisi
inilah yang menurut saya mesti kita cermati dengan baik. Dari segi rumus yang
saya paparkan dan segi bahasa, puisi ini terbilang sempurna karena penulis telah
berhasil menggambarkan sekeliling dan perasaan kesepiannya kepada pembaca.
Jika ada yang
bertanya, “Apakah sulit memahami puisi di Tepi laut tersebut?”, beberapa
langkah di bawah ini bisa kita jadikan acuan.
a.
Kita bisa pegang rumus sekaligus prinsip puisi
modern yang sudah saya tulis, yaitu REALITA/KENYATAAN DI SEKELILING + OLAH RASA =
PRODUK (PUISI)
b.
Pelajari puisi PENANTIAN DAN
DI TEPI LAUT tersebut
c.
Praktikkan, tak perlu
tergesa
d.
Selalu koreksi apakah bahasa
kita masih umum, sembari melihat-lihat puisi dari orang lain.
Sebagai
catatan kita sering membaca puisi tetapi sering juga bertanya-tanya, “Kok saya nggak mudeng atau
paham isi puisi tersebut ya?” Apakah hal itu berarti
puisi kita gagal? Jawabannya tidak tahu. Ya, saya tidak tahu. Saya rasa pun
jawaban itu tak butuh jawaban.
Namun
saya teringat seseorang yang pernah berkata seperti ini, “Buatlah puisi yang enak dan mudah
dipahami pembaca tetapi tidak pasaran dan tidak terjebak keumuman.”
Tapi
apakah salah jika kita membuat puisi yang sulit dipahami oleh pembaca,
jawabannya adalah tidak salah. Sekali lagi saya hanya menyarankan dan
konteksnya yang hendak saya bagi adalah puisi modern, yang sekali lagi menurut
saya adalah puisi yang mudah dicerna dan mudah diresapi maknanya, seperti puisi
DI TEPI LAUT di atas.
Berikut
saya berikan satu contoh lagi sekaligus sebagai penutup dari saya. Puisi ini
berjudul Hansum karya Agus R. Sarjono.
HANSUM
Lapar
yang mulia dan nyaris abadi
Setelah
merontokkan rambut dan hati
Seorang
lelaki sambil berbiak
Berkelana
ke berbagai negeri
Seperti
awan gelap berarak
Menyergap
matahari
Lapar
yang perkasa, anak jadah
Para
penguasa, adalah pengembara
Yang
terlunta menggesekkan
Biola
kebisuan semesta. Dialah
Panci
yang bertepuk sebelah tangan : kosong dan berkilauan
Di
bawah gemintang musim gugur
Tempat
anak-anak abad ini
Tumbuh
dalam kubangan lumpur
Pada
tiap restoran ada lapar
Yang
mengendap diam-diam
Di
sela menunya. Pada senyum atau seringai wakil rakyat
Ada
lapar yang coba dipikat
Dan
selalu alpha untuk diingat. Pada khotbah
Para
agamawan indah surgawi
Ada
lapar yang terbiar abadi
Piramid-piramid
raksasa,
Menara
dan patung kencana
Megah
tiada tara. Singgasana kaisar dan raja menjulang
Menghiasa
peradaban purba
Kejayaan
sang manusia . tapi lapar
Dbiarkan
digdaya bertahta
Serupa
aib serupa karat
Pada
martabat segala mahkota
Pastur,
rabi, dan ulama
Telah
membungkus tubuh
Mungkin
juga akhlaknya
Dengan
jubah bersih dan mewah. Dengan mulut sehat
Kemerahan,
menebar nasehat keramat
Tentang
surga dan hidup mulia
Bagi
segala umat manusia, tapi lapar
Dibiarkan
piatu dan sendiri
Terlunta
tanpa wali
Di
lembar-lembar sastra
Dan
panggung drama
Perut
yang kosong dan tak henti meremas
Jiwa
telah mengantar para pujangga ke puncak
Masyur
khazanah budi, tapi lapar terbiar abadi
Lebih
perkasa lebih abadi
Dari
segala novel dan puisi
(ditulis oleh Reza Andta, Koordinator Modern Poetry WR Puisi)
0 comments:
Post a Comment