Sekali Lagi untuk Sajak Cinta


(Modern Poetry Edisi 8 Januari 2012)

Sajak cinta, akan menjadi awal dalam membicarakan mengenai puisi modern. Kita tahu bahwa tema cinta merupakan tema besar bahkan lebih besar dari sosial atau politik. Oleh sebab itu puisi dengan tema cinta seringkali bertebaran bagai jamur menumbuhi lapak-lapak media kita.
Namun secara pribadi, sampai saat ini saya sendiri belum begitu banyak menuliskan sajak cinta, baik itu secara umum dan khusus. Sajak cinta sendiri biasanya ditulis sesuai dengan pengalaman pengarangnya secara meledak-ledak. Saking meledak-ledaknya akhirnya apa yang ditulisnya cenderung klise atau tidak utuh. Artinya tidak memperhatikan rima atau diksi yang tepat, tepat dalam arti menusuk hati pembaca. Hingga ketika puisi itu dibaca membuat ingin menuliskan ulang atau menempelkan di dinding kamar. Hal ini karena selalu terbayang-bayang akan kedalaman maknanya. Tentunya hanya di tangan setiap pengarang yang mau berusaha untuk tidak klise atau tergesa-gesa dalam menuliskan pengalamannya, puisi cinta yang terbentuk tidak terjebak oleh klise.
KLISE sendiri dapat berarti ketika kita punya pengalaman tentang cinta, maka saat menuliskannya kembali di atas kertas, yang muncul adalah sesuatu yang umum, tidak memperhatikan bumbu-bumbu puisi, seperti diksi, rima atau metafora. Kita dapat melihat begitu banyaknya sajak-sajak cinta bertebaran di dunia maya, dan semuanya rata-rata terjebak oleh lumpur KLISE atau keumuman. Semoga saja itu adalah bagian dari proses perkembangan puisi Indonesia. Walaupun setelah saya amati banyak pengarang cenderung malah terlalu asyik untuk menghasilkan sajak-sajak yang klise tersebut.
Nah pertanyaannya, bagaimana sih menulis sajak cinta tapi tidak terjebak oleh Klise atau Keumuman tersebut? Dalam menulis sajak cinta kita bisa menggunakan rumus-rumus poin sebagai berikut:
1.      Satu bait untuk menggambarkan perasaan kita dengan pemilihan diksi yang tepat
2.   Bait berikutnya mengimajinasikan simbol-simbol atau suasana untuk mengaitkan perasaan kita tersebut.

Dua rumus di atas bebas untuk susunan tiap bait, asalkan setiap baris kita pegang kedua rumus di atas atau memunculkan rumus tersebut. Hal ini sudah pernah saya pakai, dan saya sendiri menemukan dengan membaca satu puisi dari Chairil Anwar yang berjudul SENJA DI PELABUHAN KECIL.

Ini kali tiada mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

(Larik 1: gambaran perasaan penulis)
(Larik 2 dan 3: simbol atau suasana seperti tiang, temali, kapal, dan perahu, yang merupakan unsur-unsur pelabuhan. Lalu dikaitkan dengan bait 4 yang merupakan gambaran perasaan penulis)

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

(Pada baris di atas semua menggambarkan suasana atau simbol, seperti gerimis, tanah, air, ombak, kelepak elang. Nah, di sini penggunaan diksi juga tepat, misalnya langit yang mendung disertai hujan dituliskan dengan [gerimis mempercepat kelam], elang yang terbang di tulis [menyinggung muram] untuk menggambarkan perasaan pengarang. Dan berganti hari atau waktu di tuliskan dengan [desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan], dan perasaan tenang digambarkan dengan [tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak]. Lihatlah betapa pengarang tidak terjebak dalam keumuman atau klise.)

tiada lagi. aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian ucapkan selamat tinggal
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

(Pada baris ini sama juga, larik pertama menggambarkan sedikit perasaan pengarang. Lalu larik kedua menggunakan simbol semenanjung yang dikait dengan perasaan pengarangnya, hingga akhirnya ditutup dengan simbol pantai. Lihatlah keutuhan diksi atau metafora tentang unsur laut dari awal sampai akhir tetap terjaga, dan yang paling penting adalah efektifitas kata dan tidak membuat pembaca sesak nafas, atau becek ketika dibaca, seperti pada puisi-puisi kita saat ini yang sering terlihat di media-media lokal atau nasional.)

Nah, dengan dasar puisi Chairil Anwar tersebut dan menggunakan dua rumus di atas, kita akan coba mengaplikasikannya dalam sebuah puisi. Kita bisa memulainya dengan yang paling mudah, misalnya puisi dengan baris yang sederhana menggunakan satu rumus terlebih dahulu (misal rumus Satu bait untuk menggambarkan perasaan kita dengan pemilihan diksi yang tepat). Mengenai contohnya, saya ambil dari majalah NICHE (majalah sastra lokal) sebagai berikut:

SEPASANG MATA DI GELAPNYA MALAM
Kukayuh rindu dengan segenap berahi
Berhenti kita dipalang janji
Berhenti kita menghargai hati

(Baris-baris di atas mengenai kerinduan dengan penggunaan metafora unsur-unsur sepeda: kayuh, behenti dan palang.)

Menemani sunyi
Meninggalkan sepi

(Baris di atas menempatkan sunyi dan sepi sebagai perasaan dengan diksi: menemani dan meninggalkan.)

Puisi di atas dapat kita tempatkan sebagai fragmen, istilahnya nyicil terlebih dulu, karena dirasa mampunya hanya segitu. Tapi ingatlah! Dari kesederhanaan tersebut, kumpulkan, lalu selalu mengubahnya jika dirasa ada waktu sehingga niscaya fragmen-fragmen yang telah kita buat tersebut lambat laun akan menjauhi keumuman yang kita buat.
Contoh lain adalah sebagai berikut :
Tajam Wajahmu
Semalam
Bisik detik Jam meringkih kelam
Seiring dengan samar wajahmu
Yang mengklewang suram. Sedang
picing matamu menyilau muram
Hingga tenggelam tenaga padam

(Puisi di atas menggambarkan perasaan cinta dengan unsur-unsur ekpresionis, artinya unsur-unsur diksi yang menghentak, meskipun menghentak itu sendiri sifatnya tergantung pembaca. Diksi-diksi menghentak tersebut, seperti meringkih, mengklewang, suram, dsb.)

Nah apabila dirasa rumus pertama sudah kita kuasai, maka selanjutnya kita gabungkan dengan rumus kedua (Bait berikutnya mengimajinasikan simbol2/suasana untuk mengaitkan perasaan kita). Contohnya adalah sebagai berikut:

REFEREIN MENCIT PUTIH
Pada pohon-pohon jambu yang mematung
bangkit kembali cerita kita yang tergadai

(Pada baris di atas menggunakan simbol pohon jambu yang dikaitkan dengan dengan sebuah kenangan, yaitu cerita tergadai, pemilihan diksi berupa bangkit kembali.)

Di luar langit memadat
Pekat merupa plafon di kampus kita.
Di pintunya yang lucu
Tertulis sekilas namamu yang berkilau
Bagai nyala spiritus

(Pada baris di atas menunjukkan simbol: plafon, pintu, langit yang dikaitkan dengan objek seseorang.)

Dan di laboratorium BSF ada sebuah refrein dukacita
yang menerawangkan ribuan roh hewan berbulu.
Seketika arus kuman mengukirkan makna perjumpaan :
Tikus putih berlarian dalam aliran darah…
Tikus putih berlarian dalam sungai jernih….

(Pada baris ini pun sama: laboratorium, kuman, dan tikus yang dikaitkan dengan perasaan)

Laboratorim kita yang megah
Serasa membuahi penglihatanku
Pada mekar lipstikmu yang meleleh

Namun demikian puisi di atas masih belum dahsyat, tapi pengarangnya telah mencoba atau minimal berusaha dengan sekuat tenaga untuk menuliskan tanpa terjebak dengan klise atau keumuman
Semoga saja kedua rumus tersebut, dapat membantu anda, sebab terkadang memang aneh meskipun kita dianggap hidup di era modern tapi banyak sekali puisi kita yang jauh dari semua itu, dimana lebih banyak seperti lirik lagu misalnya, dan jauh dari KESEGARAN BAHASA, tanpa detail metafora atau diksi, tetapi seperti yang sudah saya katakan tadi KLISE, meskipun pernyataan saya sifatnya relatif dan perlu dibuktikan kebenarannya.
Nah, kenapa tema kita puisi modern, tetapi contohnya malah bukan puisi modern. jawabannya adalah bagaimana kita melangkah ke puisi modern, sedangkan puisi kita masih saja tidak modern (KLISE, TIDAK SEGAR BAIK METAFORA/DIKSI, dsb).
Namun bukan berarti puisi klise itu jelek, sebab bagi saya tidak ada yang jelek atau buruk ketika kita menulis puisi. Bagi saya pribadi Puisi Klise saya sebut sebagai Puisi PROTOTIPE, yaitu puisi yang ketika dibaca seperti mengamati bayi kata yang sedang belajar berjalan di atas kertas/media ekspresi, dimana akan tiba masanya bayi tersebut tidak hanya bisa berjalan tetapi juga berlari. Berlari yang bagaimana. Berlari menuju kedewasaan yang relatif, dalam hal diksi, metafora, teknik, dan yang paling penting MAKNA. Dan semua itu tergantung ibunya yang setia menyuapi, memopoki, dsb. Siapa ibu itu? Kitalah IBU itu.
Hanya saja saya berharap semoga kita senantiasa belajar menuliskan puisi dengan lebih segar secara bahasa dan makna sehingga keberadaan kita di dunia kepengarangan khususnya puisi bukan sebagai penggembira, atau mencederai atau menurunkan perkembangan puisi Indonesia, tetapi justru menciptakan khazanah baru dalam perpuisian kita yang sering kita sebut dengan “TREND” atau “MODERN”.
Sebelum saya tutup tulisan ini maka dengan menggunakan rumus yang sudah saya sampaikan di atas, saya coba membuat puisi cinta dari konsep saya sendiri dengan segala ketidaksempurnaannya, hitung-hitung saya jarang menulis puisi di Blog WR ini. Hehehe…
SLIDE
Aku menemu mereka sekedar berdahaga
Tapi kepadamu aku tak berganti rupa.
Tatap matamu meraih wajahmu
Untuk menjahit sederet cumbu

Aku mendekapmu berdiam sendu
Coba merenggut mulutmu,
seperti mulut si dungu

Tahun lalu belakang lampau,
kauaku belum apa-apa
sungguh hanya beraneka wanita
kuanggap biasa

Kenangan masih tececer
tunggu jalan datar jadi lebar
hingga tahun-tahun kian meninggi
dan kita selalu negatip dalam janji

Sungguh aku tak tahu warna itu
yang sandarkan pada bangku persembunyianmu

Sungguh aku selalu ditikam hawa hampa
walau musim-musim, kawan-kawan terus berkata.

Suatu tempat (E-Plaza putar film Harry Potter)
Suatu tempat (café-café menyanyikan irama blues)
Suatu tempat (jalan-jalan kampus penuh lalat menyengat)
Suatu tempat (adik kelas di dogma membabi buta)

Sore asing hampir tiba dari puncaknya
Cemas, terkungkung kita di jantung kampus
“Bedebah”, hati memisah dalam pandangmu yang rebah
Jadilah gigil angin menyingkap makna ganjil

Doaku,
semoga segala kenangan kita : lalu dan kini
jadi menara tinggi tersendiri

Suatu tempat (E-Plaza putar film Rumah Dara)
Suatu tempat (café-café putar lagu irama jazz)
Suatu tempat (satu adik kelas terjun bebas dari B.203)

Mari gadis, buktikan kita pernah mengasah asa
duduk bersanding, saling pandang di lambung masa

Dan akankah kau terima duniaku lagi !

Dunia yang pernah kau sangsikan
ketika purnama malam
menebar warna pualam

SUARA DAN NAMAMU

Suaramu dan namamu sudah lalu menyusupi diriku
kadang mengasingkanku ke gelanggang manapun : kau yang kuingin

di kamarku, di lenggang perkuliahan sampai gigir trotoar

Aku rebahan ikut kenyataan,
dalam jantung kau juga datang
dan aku negatip kisah baru untuk putar padamu
pun melaju ; timpang sedikit pincang

Tubuhmu_tubuhku
jadi batu dan beku
segala cakap serta tutur kata
berangsur samar dikerutup kala
 
Salam

(ditulis oleh Reza Andta, Koordinator Modern Poetry WR Puisi)

0 comments:

Post a Comment

Followers