Present from The Two

Jangan Sembunyikan Kata dari Mata Kita

(Menyatukan dua kepala kepada kata)

 sajak AD Rusmianto
  

Sepertinya ada yang mulai menuangkan kerinduannya pada rongga jiwa, seperti hujan membasahi tanah tandus di hatimu. Kekasih, adalah engkau yang merajai tiap detik berlalu dengan kecemasan, menyulingnya menjadi ribuan kata pada altar jingga. Dan aku ingin mereguknya seperti cawan usang dimana engkau tuangkan rindu di atasnya. Semoga aku dapat menenggak mabuk. Mabuk kata.

Masih saja aku tertatih dalam setapak berduri, menyusuri bebatuan menuju padang tak bertepi. Hirup saja sampai aku dirasuki hingga mencambuk setiap relung lelah. Maka hanya namamu yang kutemukan dalam jerit bisu. Terduduk. Dan seribu gumam pada dzikirku adalah tentang kau yang mabuk di persimpangan.  Berbisiklah, sayang! Biarkan menyusupi jalanan dimana riuhnya membuka mataku. Menjeritlah sambil mengulur. Masuklah dalam rimbaku, melukislah walau absurd. Dan aku suka ketika kau mengaduh dalam tabuhan puisi. Dan biarkan kubangun keabsurdan dalam asaku mencumbui dunia kata. Seperti ingin merdeka dari sakit hati. Meledaklah! Melekatlah! Menjadi kata, setubuhi bahasa untuk kulahirkan puisi dan prosa dari rahimnya.






Dalam hina masih saja berkembang biak. Hanya lirih ingin larut dalam pelukmu. AKH! Bulir itu lagi. Kendaraan dicipta airmata adalah suci, seperti  halnya fakta dalam berita. Lantas berdoa pada satu-satunya yang kita punya; kata. Sebab penjarakkan sempurna.


Bernafas dalam pikir yang gerakkan jemarinya. Merah merengkuh meski terbelenggu. Karena nyatanya aku masih di balik cadar. Ironikah? Terpejam terus merasuki dan dirasuki mantra dari kata-katamu. 
Membuncahlah kata menjadi pelangi, dalam duniamu ketika itu angin akan menemukan  namamu terselip di dahan akasia. Hati-hati, kata adalah tajam seperti halnya duri akasia; dapat melukai kolibri.


Merangkai derita serta bahagia. Jangan lagi kau pertanyakan. Hidupku sudah tak berampun. Biarkan duniamu menjadi labirin yang kususuri. Atau ketika kau redupkan, maka aku masih di balik cadar ini? Kau tahu wahai penyair? Tak bisakah berbagi pada bocah yang miskin kata ini?


Bogor – Tasik, 14 Nov 2011

###

Serumpun Bunga Taman

sajak Nurshanadi

pun setaman bunga rum
pun…

Pdg, 19/01/12

###

Kehadiranmu Bagai Oase di Gurun Sahara

Sajak Arista Devi

Gurun sahara dimana jejakjejak jiwaku digembalakan itu adalah kehidupanmu. Serumpun embun, bungabunga perdu, kemerisik sepi, percik api, dan hamparan pasir membentang.

Ketika gairah cinta tersemaikan dan wajahmu merupa bulan di langit malam. Aku menjelma domba, yang menengadah melangitkan doa. Agar senyummu menghias cakrawala.


Dengan seksama kurangkum sejuta makna dalam sebait sajak. Tatapan kita adalah puisi tanpa jeda. Tatap penuh diksi dan metafora. Bertumbuh pokok pepohonan kurma, tempat berteduh musafir kelana.


Segala kecemasan meluruh dalam hembusan debu yang meniada. Kita pun menjerit tawa, sunyi hanyalah sebuah koma dalam rangkaian cerita malam. Ketika waktu mempersembahkan penanda untuk kita sekadar merebah raga.


Kehadiranmu bagai oase di Gurun Sahara. Membawaku ke dalam pijar binar, melalap seluruh tatapan mata, pikiran, dan imajinasiku. Melebur dalam sensasi tak bertepi yang disebut puisi.


Gemuruh angin gurun di luar tenda, layaknya rangkaian ketukan jantung di dada kita. Biarlah kupeluk tubuhmu sayang, tenggelamkan aku dalam telaga rindu tak bertepi. Agar dahaga cintaku menjadi sirna. Dan kehadiranmu tak lagi sekedar menjadi oase di padang kelana jiwaku.


Puisi ini kuselesaikan saja dengan hangat kecup doa.


Hong Kong, Januari 2012

(Ketiganya telah ditampilkan dalam Bedah Puisi WR Edisi 25 Januari 2012)

0 comments:

Post a Comment

Followers